Senin, 15 Maret 2010

SRILA GURU PANDITHA LILA MRTA



SRILA GURU PANDITHA LILAMRTA

Orang-orang di zaman modern ini melaksanakan perjalanan yang panjang yang sering kita kenal dengan travelling. Mereka melakukan hal ini un-tuk menghibur diri setelah setiap hari mereka menghabiskan waktu untuk bekerja yang penuh dengan tingkat stres yang tinggi. Kadang-kadang banyak juga yang mengadakan perja-lanan mengunjungi tempat-tempat suci dan bersembahyang disana bersama keluarga, atau rekan-rekan bisnis (ber-tirthayatra). Hal ini sudah umum dilaksanakan di kalangan masyarakat. Sepintas lalu kita merasakan kebahagiaan dari semua ini namun cobalah kita menoleh jauh ke belakang dan mencoba mengingat para leluhur yang melaksanakan per-jalanan panjang demi menyampaikan amanat-amanat suci dari Tuhan kepada setiap orang. Zaman dulu kita menyadari bahwa ada banyak keterbatasan yang menjadi hambatan, namun hal ini tidak pernah menyurutkan langkah para leluhur kita yang suci untuk terus menyampaikan pesan-pesan rohani pada setiap jiwa. Itulah sebuah perjalanan yang suci,—menyebarluaskan pesan-pesan Tuhan kepada masyarakat umum.
Jika kita memandang setiap jiwa adalah sama anak-anak Tuhan, maka kita akan senantiasa teringat dengan saudara-saudara kita yang berada jauh dari perkembangan kehidupan modern. Mereka sebenarnya jauh lebih beruntung daripada kita karena mereka puas dengan kehidupan yang damai dan bersahaja, dan oleh karena itu mereka lebih banyak memiliki waktu untuk mengingat dan mencintai Tuhan.
Sebuah perjalanan yang tiada akhir adalah perjalanan untuk melaksanakan perintah guru kerohanian, perintah sang guru adalah jiwa dan raga seorang murid. Seperti inilah perjalanan suci seorang penyembah yang agung dan mulia dari Tuhan Sri Krisna, Srila Guru Pandita. Perjalanan dengan susah sudah dimulai sejak awal kehidupan beliau dalam kerohanian. Beliau senantiasa berkeliling mengajarkan dan menyampaikan pesan-pesan dalam kitab suci Weda, mendistribusikan buku-buku kesusastraan Weda, membina umat di berbagai daerah, menyampaikan ringkasan-ringkasan kitab suci yang praktis dan mudah dimengerti. Beliau menaburkan bunga rampai kesusastraan Weda ke setiap sudut-sudut desa dan kota sehingga jiwa-jiwa yang tertidur pulas dapat mencium aromanya dan terbangun kembali dalam kesadaran akan Tuhan.
Perjalanan panjang menelusuri pelosok-pelosok desa adalah perjalanan yang memang menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran. Sumbawa salah satunya. Tempat ini sangat sulit dicapai karena jalan-jalan yang berliku-liku dan rusak serta jarak tempuh yang cukup panjang.

SUMBAWA
Mengawali perjalanan di Sumbawa. Kita menuju ke desa terpencil dengan melewati jalan yang berdebu, berbatu, tanah yang begitu kering dan pepohonan yang tampak sangat gersang. Dari keadaannya kami berkesimpulan bahwa di tempat ini jarang turun hujan. Kendaraan melaju dengan hati-hati karena banyak ranjau di tengah suasana yang gelap. Pada akhirnya, kendaraan yang kami naiki berhenti di depan sebuah rumah yang sederhana. Seorang bapak berdiri di depan sebuah rumah bercat putih. Ia tergesa-gesa keluar menyambut Guru Pandita dan rombongan. Bapak ini adalah pemangku yang bertugas di sebuah pura di daerah itu. Guru Pandita disilakan duduk di sebuah pendopo kecil. Ternyata, bapak ini adalah ayah Sriman Jami yang menjemput Guru Pandita dan rombongan dari pelabuhan. Jami mengawali mengucapkan mahamantra di Desa Samparmaras. Sejak saat itu ia mulai berjapa mahamantra dan mengikuti empat prinsip dengan baik. Orang tuanya yang menjadi pemangku desa pun mendukungnya untuk belajar kerohanian dan mereka juga mengatur persembahyangan bersama Guru Pandita di pura Blambangan. Persembahyangan ini disambut baik oleh masyarakat setempat. Dari hasil pembicaraan Guru Pandita dengan penanggung jawab pura, di pura tersebut daging tidak boleh dipersembahkan dalam bentuk apapun. Tokoh setempat menuturkan bahwa suatu saat di pura tersebut pernah dipersembahkan banten mema-kai daging, namun ternyata beliau yang berstana di sana tidak berkenan. Disampaikan juga oleh tokoh setempat bahwa pura ini merupakan pura peninggalan dari keturunan Sri Krsna Kepakisan. Desa tersebut sangat beruntung. Di pura ini juga terdapat sebuah batu yang sangat besar dan sangat disakralkan oleh semua masyarakat.

Dalam weda pun ada batu suci yang disebut salagrama. Salagrama adalah juga perwujudan Tuhan Sri Wisnu, namun batu suci ini hanya dapat diambil melalui prosedur yang telah ditentukan dalam kitab suci. Pura ini telah berdiri cukup lama, dan walaupun tempatnya cukup jauh, kesadaran kesadaran umat untuk datang tangkil tidak surut. Mereka dengan seksama mendengarkan pencerahan dari Guru Pandita mengenai bagaimana kita menjadi umat yang baik di hadapan Tuhan, mengenal kitab suci kita sendiri. dan yang paling penting adalah bagaimana kita berusaha untuk menerapkan apa yang sudah disampaikan oleh kitab suci. Pencerahan singkat dan padat yang disampaikan Guru Pandita membuat umat bersemangat untuk menekuni ajaran rohani. Ceramah kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan bersama untuk kemudian bersama-sama bergabung dalam pembagian kue. Masyarakat menyambut gembira kehadiran Guru Pandita dan mereka berharap beliau kembali lagi.

Dua jam perjalanan kami tempuh menuju penginapan. Perjalanan yang gelap di jalan membuat kami sampai larut malam di penginapan untuk mempersiapkan diri menempuh perjalanan yang lebih panjang esok harinya: 6 November 2009.

Sebelum melanjutkan rute berikutnya, Guru Pandita bertemu dengan ketua PHDI Sumbawa di rumah beliau. Di rumah tersebut tergantung foto Partha-sarathi (Krsna sebagai kusir kereta Arjuna), foto Sri Wisnu dan dewi Saraswati. Beliau memang pecinta spiritual. Pertemuan berlangsung sangat baik. Beliau menyambut baik kehadiran Guru Pandita di Sumbawa, dan beliau juga yang menghubungi ketua PHDI Lunyuk mengatur acara di sana.

Kami melanjutkan perjalanan ke desa Lunyuk, ditempuh kira-kira 5 jam perjalanan melalui hutan-hutan belantara serta jalan kecil dan rusak sehingga cukup banyak menghabiskan waktu di jalan. Sungguh melelahkan. Kami menuju rumah seorang penduduk yang masih memiliki hubungan keluarga dengan salah seorang murid Guru Pandita. Ketika kami tiba di Desa Lunyuk, Guru Pandita disambut oleh pemangku di pura untuk bersiap-siap memulai tirthayatra.

Dalam kesempatan itu, ketua PHDI Desa Laban, Gresik menyampaikan bahwa 500 tahun setelah runtuhnya kerajaan Majapahit akan datang orang suci ke Jawa untuk membangkitkan Hindu di Jawa. Sementara itu, seorang ibu keturunan Keraton Solo yang merupakan pemilik sebuah spa di Surabaya suatu saat mengatakan bahwa Guru Pandita adalah penerus dari Raja Majapahit, padahal ibu ini tidak pernah bertemu langsung dengan Guru Pandita.

Tatkala malam beranjak, penduduk desa berkumpul di pura dan menyampaikan banyak pertanyaan secara umum mengenai hubungan belajar rohani dengan adat istiadat secara umum. Mereka pun mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Guru Pandita karena dalam kitab suci Weda semuanya ada. Diskusi diakhiri dengan pembagian kue-kue yang sudah dipersembahkan pada Tuhan Sri Krsna.

Mengakhiri perjalanan kita di Sumbawa, Guru Pandita menghadiri persembahyangan bersama dan program mingguan siswa-siswa Sekolah Hindu di Sumbawa besar. Hadir juga para guru dan umat Hindu yang kebetulan mengantar siswa ke sekolah. Guru Pandita menyampaikan secara umum apa itu Weda, dan bahwa setiap orang harus mempelajari Weda. Beliau juga menyampaikan bahwa kita umat Hindu telah memiliki kitab suci yang sangat hebat sehingga ditegaskan jangan sampai kita meninggalkan Hindu. Hindu adalah agama yang praktis dan simpel serta bisa diterapkan di mana pun. Kita juga bisa bertanya segalanya dalam kitab suci Weda. Guru Pandita menyampaikan banyak hal mengenai bagaimana susunan planet menurut Weda dan masih banyak lagi karena guru-guru yang hadir di sana memang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Program ini berlangsung sangat baik serta dihadiri juga oleh para pemangku pura.

Membangkitkan kembali rasa cinta kita pada sejarah Hindu di Indonesia
Beranjak dari Indonesia timur, Guru Pandita melanjutkan perjalanan ke Tanah Jawa. Perjalanan ini sungguh-sungguh di luar dugaan. Kami sampai di Kota Surabaya dini hari pukul 4.30. Guru Pandita dan rombongan mengalami sedikit masalah dengan jalan di daerah Sidoarjo yang tertimbun lumpur Lapindo, dan kami dikejar oleh orang yang mengaku dirinya penjual jasa penunjuk jalan. Kami sedikit khawatir karena banyak penipuan di daerah itu. Akhirnya, kami memutuskan untuk menelepon rekan kami di Surabaya, rombongan membalik haluan lalu menuju sebuah SPBU di daerah Bangil. Kami akhirnya dijemput dan diantar ke tempat tujuan program kami di Surabaya.


Acara kami disusun mendadak via telepon. Kami menghubungi ketua PHDI Jawa Timur dan beliau yang kemudian menghubungi umat untuk hadir dalam acara Dharmatula . Sebelumnya kami sempat bersembahyang di Pura Jagat Karana yang megah.

Acara Dharmatula ini dihadiri oleh guru besar dari ITS dan tokoh-tokoh Hindu di Surabaya. Ketua PHDI Jawa Timur sendiri bertindak sebagai moderator. Yang hadir dalam Dharmatula ini adalah orang-orang berpendidikan. Mereka bertanya mengenai kesadaran atma, misionarisasi Hindu dalam menyebarluaskan ajaran Weda, dan bahkan ada yang bertanya tentang Guru Pandita sendiri. Waktu semakin larut, namun mereka masih menyimpan banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Para peserta mengundang Guru Pandita untuk hadir kembali.

Bertemu dengan Umat hindu keturunan Madura
Mereka tinggal di desa yang sangat unik di tengah–tengah penduduk mayoritas,—lima puluh orang penduduk Jawa asli yang berjuang agar Hindu bisa bertahan di sana. Mereka juga sempat melarikan diri, dan adalah sesuatu yang sangat mengesankan bahwa mereka masih bertahan dalam keadaan tersebut. Mereka difitnah dan juga pernah dipenjara, namun mereka tetap bertahan dalam ke-Hindu-an mereka. Karena ketabahan hati mereka, Tuhan datang membawakan Nama Suci-Nya yang dilantunkan di sana atas karunia guru tercinta.


Mengunjungi Kota Pelajar: Yogyakarta
Di Yogyakarta, Guru Pandita menyampaikan dharma wacana di Pura Jagatnatha. Pada saat itu hadir pula mayoritas mahasiswa Hindu dari Bali yang melanjutkan pendidikan di universitas-universitas di Yogyakarta, dan mereka sangat antusias. Seorang Romo (penaggung jawab pura) mengatakan bahwa biasanya kalau ada darmawacana, umat yang hadir tidak berkonsentrasi mendengarkannya. Dharmawacana yang disampaikan guru pandita berlangsung singkat dan padat. Intinya adalah bagaimana kita menjadi seorang Hindu yang baik dan belajar rohani di bawah bimbingan seorang guru kerohanian. Guru Pandita juga menekankan makna menjaga kebersihan tempat suci secara berkesinambungan. Seperti biasa, kami juga membagikan kue untuk umat yang hadir.

Mengenang sejarah Hindu di Jawa
Guru Pandita sempat membacakan ayat-ayat Srimad Bhagavatam di candi Borobudur dan di Candi Prambanan. Guru menyampaikan doa-doa pujaan, demikian juga di Candi Mendut dan Candi Tikus yang adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Kami juga bersembahyang di sumber mata air yang bernama Jolo Tunduh yang sangat agung.

Masih sangat lama waktu yang kami perlukan untuk mengunjungi umat Hindu di Jawa. Setelah kami mengunjungi Gresik, Lamongan adalah daerah lain yang sangat beruntung karena seorang Vaisnava agung, Srila Guru Pandita, menginjakkan kaki padma beliau di sana. Umat pun dengan antusias mendengarkan wejangan rohani yang beliau sampaikan. Pertanyaan–pertanyaan pun bermunculan dan Srila Guru Pandita memberikan jawaban yang melegakan hati mereka.
Begitu banyaknya umat Hindu yang tersebar di seluruh Jawa, salah satunya Blitar. Di sana terdapat sembilan belas pura yang tersebar, dan mereka pun sedang menunggu kehadiran Guru Pandita.


Uraian tentang agungnya perjalanan guru tidak akan pernah mencapai titik terakhir. Tidak hanya tempat di mana beliau hadir saja, namun orang-orang yang ditemui ketika dalam perjalanan semua mendapatkan karunia karena telah melihat dan bergaul dengan orang suci.

Perjalanan Suci Anda Tak Pernah Surut
Guru Pandita tidak pernah mengeluh dan tidak pernah mengenal lelah menyampaikan pesan-pesan rohani dari kitab suci Weda. Beliau selalu mengajak setiap orang untuk selalu bersemangat mengagungkan kegiatan rohani Tuhan Sri Krsna dan Nama Suci-Nya.

“Minimal orang Hindu kuat dalam agamanya dan mengetahui siapa Tuhan mereka,” sabda beliau suatu ketika. Walaupun mereka hidup sebagaimana biasanya, keyakinan mereka pada agamanya itulah yang penting. Mereka harus sadar bahwa semua ada di sana,—apapun yang mereka tanyakan dan apapun yang mereka cari. Sedikit atau banyak orang yang hadir tidak menjadi kendala beliau untuk menceritakan tentang kegiatan rohani Tuhan. Saat kami tertidur pulas, guru masih tetap terjaga memuji keagungan Tuhan Sri Krsna bersama umat yang haus akan kerohanian. Beliau melewati hutan belantara di malam hari saat semua orang sudah tertidur, Guru selalu berada dalam perjalanan sucinya. Guru masih terus duduk berjam-jam. Sesaat beliau tampak sangat lelah, kepala beliau sering terjatuh kepinggir. Sesaat kemudian beliau terjaga lagi sampai menunggu tiba di tujuan. Tempat yang jauh ataupun dekat tak pernah menyurutkan langkah guru. Hujan ataupun panas tidak menghalangi guru dalam melaksanakan tugas beliau yang sangat agung.

Guru, Anda yang senantiasa berkarunia pada setiap Jiwa
Betapa beruntungnya anak peminta-minta itu ketika suatu saat di kapal penyeberangan mereka meminta-minta uang. Mereka menengadahkan tangannya pada Guru Pandita lalu sambil malu-malu mereka lari lagi keluar. Guru Pandita tersenyum melihat mereka dan beliau berkata, “Mana maha-prasad-nya?”
Seorang brahmacari mengambil kue dari dalam sebuah plastik dan menyerahkannya kepada Guru Pandita. Beliau keluar menghampiri anak-anak itu satu persatu dan memberikan beberapa bungkus kue maha-prasadam, lalu menyentuh kepala mereka.
Guru Pandita memiliki kebiasaan selalu meletakkan sedikit prasadam di depan kamar beliau. ”Ini prasad untuk semut, burung-burung, atau saudara kita yang tidak kelihatan yang terkadang lewat di depan kamar saya. Mereka juga adalah anak-anak Tuhan.” Pada saat musim mangga, mangga berbuah sangat banyak di ashram. Guru selalu berkata, ”Jangan dihabiskan buah mangganya di pohon, sisakan buat burung-burung dan binatang lainnya!”